Celengan Rindu Makna

Celengan Rindu Makna

Syafrizaldi Penulis Perjalanan

Kami tengah dilanda gelisah saat melintasi Danau Sigending, sebuah danau yang dikepung mangrove di sudut Semenanjung Berau, Kalimantan Timur. Awan hitam menggumpal, berpusing ditiup angin. Omek menoleh ke belakang, dia mencoba memaksa perahu berlari kencang. Tapi tak mungkin melintas dengan kecepatan tinggi, habitat penyu akan terganggu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di danau ini, penyu terkepung. Mereka tak punya jalan keluar kecuali melintas celah sempit di ujung selat yang berhadapan dengan Pulau Kanyiungan Besar. Menurut Omek, tak banyak penyu yang melakukan itu, mereka lebih nyaman di danau ini. "Kalau hujan turun, terima nasib basah-basah, ya," kata Omek.

Rintik hujan turun, tapi awan hitam yang tadi mengganggu Omek telah menjauh. Kami menikmati perjalanan lambat itu sembari merentang kail. Mudah-mudahan ujung kail dimakan ikan.

Santi di anjungan perahu menjerit ketika beberapa ekor penyu melesat cepat. Penyu yang melintas tampak jinak. Mereka berenang persis di sisi perahu. Hutan bakau di sekeliling kami basah, air menetes di ujung daunnya yang tebal. Sementara itu, rombongan bekantan telah lama lari menjauh saat pertama kali kami datang.

Air yang jernih memperlihatkan dasar laut. Menurut Omek, wilayah ini dulunya adalah lokasi pengeboman ikan. "Ngeri, bertahun-tahun danau ini menjadi sasaran empuk perusak lingkungan. Para pencari ikan juga menggunakan racun sianida," tutur dia.

Kini setelah kesadaran masyarakat meningkat, kata Omek, wilayah ini berangsur pulih. Ikan-ikan dan biota laut lainnya seperti udang dan ketam mulai memijah. Nelayan kini bahkan tak lagi mencari biota laut sejak area ini dijadikan kawasan perlindungan laut. Pada 2016, Bupati Berau bahkan mengeluarkan surat keputusan tentang Kawasan Lindung dan Ekowisata Sigending seluas 1.500 hektare.

"Tak banyak wisatawan datang ke lokasi ini. Jika ke Berau, kebanyakan hanya berkunjung ke Derawan. Tempat itu memang dikenal dengan terumbu karang yang masih bagus. Tapi di sini, terumbu karang baru saja mulai tumbuh," tutur dia.

Dari beberapa pulau yang kami singgahi sebelumnya, Maratua yang paling menarik. Pulau berbentuk ujung belati itu menyediakan banyak tempat untuk berleha-leha dan membunuh waktu. Pulau Kakaban, juga mengesankan dengan ubur-ubur tak bersengat di danau air asinnya.

Kami menghabiskan sisa sore di Danau Sigending sebelum kembali ke Teluk Sulaiman. Teluk itu lebarnya hanya 1,5 kilometer dan menjorok ke daratan sejauh 6 kilometer. Ini adalah satu-satunya celah yang dapat dilalui menuju danau. Di ujung teluk, terdapat aliran air nan dingin. Tentara Belanda, kata Omek, pernah membuat bangunan penyedia air bersih di daratan di ujung teluk itu. Bangunan air peninggalan Belanda itu kini tampak tak terawat. Batu-batu alam tersusun rapi membendung aliran air, tapi akar pepohonan telah merayapi sebagian besar dinding batu.

Sepanjang perlintasan di Teluk Sulaiman, kawanan monyet mengintip perjalanan kami. Mereka hidup di hutan-hutan tersisa bekas pembalakan pada 1970-an hingga awal 2000-an.

Berkilometer-kilometer di tenggara teluk, Pulau Kaniungan Besar memencil sendiri. Kami menghabiskan siang bersama para perempuan yang membawa bekal. Mereka memakan buras, sejenis penganan dari beras serupa lontong. Lauknya, perempuan-perempuan ini membakar ikan segar di tepi pantai. Selain itu, mereka membawa lauk yang telah dimasak di rumah sejak pagi hari.

Santi mengenalkan saya dengan mereka, kelompok sadar wisata berbasis di Kampung Teluk Sulaiman. Mereka menyebut diri Forlika. Mereka tampak gembira kala angin meniup pucuk-pucuk kelapa.

Pulau Kaniungan bukan pulau besar, luasnya tak lebih dari 60 hektare. Sebuah catatan yang terbit pada 1994 dari Abdul Wahid Syech menerangkan pulau ini kerap dinaiki penyu untuk bertelur. Tapi kini pendaratan penyu terbatas hanya pada wilayah tak berpenghuni di sebelah utara. "Penghuni pulau semakin banyak, penyu jadi takut bertelur dekat perumahan warga," kata Omek.

Kaniungan Besar kini hanya dihuni oleh tak lebih dari 20 keluarga. Selain memanfaatkan jasa penginapan rumah warga, para pelancong bisa datang saban hari dengan menginap di tenda. Kami berinisiatif tak menginap, takut kunjungan itu justru membuat penyu enggan mendarat. Cukuplah penyu-penyu dinikmati di habitatnya tanpa gangguan.

Sejauh 16 kilometer di barat laut, kapal-kapal nelayan berjejer. Sebuah jembatan panjang melintang muara, sekaligus menjadi pembatas wilayah kelola perairan laut dengan kawasan wisata. Tak banyak tetamu berkunjung. Liburan telah usai.

Beberapa anak sibuk bermandi air di dermaga kecil tempat para pelancong menyewa perahu. Kami ingin sekali tak melewatkan kegirangan mereka, tapi Omek telah memesan sebuah perahu untuk mengantar ke Labuan Cermin.

Perlintasan ke Labuan Cermin turut ditemani penyu. Mereka berenang sesuka hati. Kadang tampak seolah-olah mereka mengikuti arah laju perahu, tapi langsung menghilang sesaat setelah berpasang mata di atas perahu memperhatikan.

Di Labuan Cermin, kini sudah ada dermaga apung terbuat dari fiber. Dulu, kata Omek, dermaga hanya terbuat dari kayu. Pengelola telah pula menyiapkan jalur trekking di atas dermaga itu. Beberapa pengunjung asal Prancis tengah riang melompat ke dalam air.

Lantai Labuan Cermin tampak dari permukaan. Mungkin inilah penyebab wilayah itu dikatakan Labuan Cermin. Kami melewatkan sepenggal siang sebelum mengunjungi Kisman, seorang petani lada. Ladangnya tak jauh dari Labuan Cermin.

Menuju tempat Kisman, kami melewati daerah berhutan sekunder. Bekas-bekas tebangan masih tersisa. Sementara itu, pohon-pohon baru telah tumbuh dengan kanopi yang lebar. Lantai hutan mulai terasa lembap saat ladang-ladang petani terlewati.

Lada tumbuh subur, merambat layaknya sirih. Walaupun masih dalam satu keluarga, lada telah membawa berkah sekaligus sengketa. Selama berabad-abad, tanaman ini menguasai pasar rempah dunia.

Untaian buah lada menjulur dari ketiak daun. Warnanya masih hijau kekuningan, belum siap untuk dipanen. Tapi untaian itu mengkilap diterpa terik matahari, memperlihatkan bias cahaya nan kemilau.

Kisman tengah memanen lada. Kami ikut membantu dia memetik lada yang telah matang. Di atas bebatuan kapur, Kisman mesti memperhatikan ketersediaan hara jika tak ingin ladanya kekurangan makanan lalu layu.

Dia mengatakan lada sudah ditinggalkan masyarakat karena didera penyakit layu sekitar 15 tahun yang lalu. Tapi Kisman tak patah arang. Dia berupaya membudidayakan lada dari sisa tanaman yang masih ada.

Sejarah lada, kata Kisman, dimulai dari perkenalan jenis tanaman ini sebagai bahan pengawet daging yang berasal dari India, lantas berkembang menjadi primadona abad pertengahan dan menguasai perdagangan rempah di Eropa dan Asia Barat. Indonesia menjadi sumber komoditas ini di panggung dunia lewat lada yang diproduksi di Sumatera dan Jawa.

Walaupun menjadi pendatang baru dalam bisnis lada, setidaknya Kalimantan sudah memperlihatkan geliat. Di pasar dunia, lada dari Kalimantan Timur dikenal dengan sebutan white pepper Samarinda.

Semenanjung Berau menyisakan sudut-sudut rupawan. Di ibu kota, Tanjung Redeb, Kesultanan Sambaliung dan Gunung Tabur memeluk erat wilayah seberang Sungai Segah. Sungai besar itu mengalir di pangkal semenanjung, mengantarkan penduduk pada wilayah perairan laut berpulau-pulau kecil.

Di sungai ini pula, kami menikmati ikan segar. Pemerintah Kabupaten menggelar pesta makan ikan. Lebih dari 3 ton ikan dimasak dalam sehari, persis di pinggiran Sungai Segah itu. Bertepatan pula dengan larungnya dua perahu naga, orang Berau menyebutnya sebagai ritual Baturunan.

Masyarakat melarung dua buah perahu ke Sungai Segah. Mereka menyebutnya Perahu Panjang Naga Sekuin. Keduanya seolah-olah diperlombakan untuk sampai di sisi seberang sungai. Tapi sesungguhnya ini mengandung makna kerja sama dan kekompakan antarwarga.

Saya sesungguhnya ingin sekali menikmati menyeberang dengan Perahu Naga Sekuin itu, tapi tak cukup tempat karena para pendayung yang jumlahnya mencapai 15 orang sudah sesak. Dari tepian, pengunjung dapat menyaksikan dua Perahu Sekuin berwarna kuning itu meluncur, sedikit melingkar ke hulu, menghindari terpaan air yang cukup deras, lalu berlabuh di seberang.

Setelah Baturunan usai, Inda Ammangku Aji Putra Sabaran Aji Saifur menunggu. Dia adalah salah seorang kerabat kesultanan. Di Berau, Inda juga dikenal sebagai seorang budayawan. Dia mengajak berkeliling istana Kesultanan Gunung Tabur. Istana itu kini tampak bagai museum. Foto-foto bersejarah terpampang di dinding, pun alat-alat yang digunakan oleh kesultanan semasa aktif.

Inda mengisahkan, Baturunan mengandung makna bersatu, rukun, dan damai. Ini berasal dari bahasa Banua, suku asli di Berau. Baturunan sendiri berarti kepedulian sesama warga. Dulu, katanya, orang Banua hidup dalam keselarasan alam dan bergotong royong.

"Baturunan dulu untuk bawuma, dami manabbas, manugal, batanam, maruput, dan mangatti," ucap dia dalam bahasa lokal. Itu adalah pekerjaan-pekerjaan utama masyarakat agraris. Tapi kini, kata dia, Baturunan Parau (perahu) dimaknai sebagai sebuah kebersamaan dalam menjunjung derajat kesultanan. Ini adalah nilai budaya yang tak akan mungkin ditinggalkan.

Inda mengisahkan, Kesultanan Berau mula berdiri pada abad ke-14. Diperintah oleh raja pertama Baddit Dipattung bergelar Aji Raden Surya Nata Kesuma pada 1400 hingga 1432. Pusat pemerintahannya berada di Sungai Lati, kini menjadi area konsesi pertambangan batu bara.

Kedatangan kolonial Belanda pada mula abad ke-17 membuat Kesultanan Berau terbelah dua, menjadi Kesultanan Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur. Konflik keluarga yang berlangsung hampir tiga keturunan itu dimanfaatkan Belanda untuk memecah-belah. Inda menunduk, mungkin dia tengah membayangkan kecamuk perang saudara yang pernah terjadi.

Berkilometer-kilometer di Teluk Bayur, Aji Rachmadsjah, 81 tahun, telah pula menunggu di rumahnya. Saya memanggilnya Kaik, berarti kakek. Bertahun lalu, tepatnya 2015, rumah itu direnovasi menjadi Museum Siraja Teluk Bayur, Berau.

Kisah Berau, kata Kaik, tak akan selesai dibicarakan dalam semalam. Selalu ada kisah yang dapat temukan dalam setiap kunjungan. Berau menanti untuk mengurai dongeng-dongeng buat para pejalan.

Belanja di App banyak untungnya:

Payment Processing...

Payment is being processed by . Please wait while the order is being comfirmed.

Azkia dan Tira ingin menabung. Mereka ingin menabung lewat celengan ayam. Tapi, tidak ada celengan ayam tersedia. Katanya, Bu Tejo akan membuatnya. Memangnya bisa dibuat sendiri? Ternyata bisa! Azkia dan Tira membantu Bu Tejo mencampur tanah liat, membuat cetakan, hingga menjemur. Ternyata tidak mudah. Seperti apa sih membuat celengan ayam sendiri? Kita intip Azkia dan Tira membuat celengan ayam, yuk!

privacy_tipThe developer has provided this information about how this app collects, shares, and handles your data

CELENGAN PLASTIK BENTUK AYAM

NGÂN HÀNG MỤC TIÊU là một Con heo đất mục tiêu ảo giúp người dùng tiết kiệm và được thử thách để đạt được các mục tiêu trong việc thực hiện ước mơ tiết kiệm.NGÂN HÀNG MỤC TIÊU cũng có một số tính năng thú vị giúp bạn hứng thú với việc tiết kiệm, bao gồm:1. Bức ảnh trong mơ của bạn2. Hoàn thành nhiệm vụ mục tiêu3. Nhận điểm mỗi khi bạn lưu4. Đổi Điểm Lấy Phần Thưởng Hấp Dẫn5. Tặng thêm 1 tháng cho người dùng mớiTiết kiệm vui vẻ với Con heo đất mục tiêu ảo này# HÃY TIẾT KIỆM VÌ TƯƠNG LAI SÁNG HƠN

Lần cập nhật gần đây nhất

Belanja di App banyak untungnya:

Melde dich an, um fortzufahren.